Lord Computer
Site menu
Search
Facebook
Main » Files » My files

Para Penjaga Citra
2010-07-13, 17:27
PERLU SIGAP & GERAK CEPAT
Peristiwa bunuh diri yang terjadi di sebuah pusat perbelanjaan eksklusif di Jakarta beberapa waktu lalu sempat memunculkan berita yang simpang siur. Di sinilah PR berperan penting menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Senior Marketing Communication Manager dari Grand Indonesia Shopping Mall, Teges Prita Soraya, mengungkapkan, “Dalam keadaan krisis semacam ini, kami tidak boleh menutup diri. Sebaliknya, penting bagi kami untuk terbuka dan menjawab dengan cepat. Jika sejak awal kami bersikap terbuka dan menjelaskan berdasarkan fakta, berita akan muncul sekali saja, lalu selesai. Untunglah kami berhasil mengatasinya,” jelas Teges, lugas.

Pengalaman lain dialami PR perusahaan otomotif Toyota, saat muncul kabar penarikan terhadap beberapa unit mobil yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Langkah yang dilakukan di negara itu membuat konsumen Toyota di Indonesia ikut resah. General Manager Marketing Planning & Customer Relations yang membawahi divisi PR di PT Toyota Motor Indonesia, Widyawati, mengatakan, langkah pertama yang dilakukan adalah segera memberikan klarifikasi pada publik di Indonesia.

“Kami segera bertindak dengan memberikan penjelasan resmi lewat laman kami dan mailing list bahwa semua produk yang kami jual tidak terkait dengan kasus penarikan produk di AS. Acuan dari penjelasan tersebut adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh principal perusahaan,” jelas Widyawati, yang akrab disapa Wiwied.
Selanjutnya, selang 3 hari kemudian, pihak Toyota mengadakan media gathering agar jurnalis bisa menanyakan kasus tersebut langsung kepada pihak manajemen dalam suasana informal. “Media pun menulis berita baik, sehingga kepanikan konsumen berhasil diredakan.”

Situasi krisis juga pernah dialami Director of Communications Hotel Borobudur, Fransiska Kansil, ketika masih menjadi PR di hotel lain. Kala itu isu penyakit SARS menerpa hotel tempatnya bekerja. “Saya dan tim saat itu sedang outing ke luar kota. Kami langsung kembali ke Jakarta setelah melihat pemberitaan di televisi,” kata Fransiska, yang biasa dipanggil Fika.

Sama seperti Teges dan Wiwied, Fika dan tim bergerak cepat melakukan investigasi dan klarifikasi. “Kami menggelar konferensi pers dan menyebarkan rilis melalui surel. Hal ini untuk menjawab berita yang telah telanjur tayang di stasiun televisi,” kata Fika. Langkah mengembalikan kepercayaan tamu hotel ini dilakukan sangat cepat, meski butuh 1 bulan hingga aktivitas hotel berjalan seperti semula.

Kesigapan menghadapi krisis juga dimiliki oleh Communication Specialist UNICEF, Lely Djuhari. Sudah menjadi tuntutan profesi, ia harus segera berada di lokasi begitu terjadi bencana. Tak jarang Lely harus tinggal selama berminggu-minggu di lokasi bencana untuk melakukan proses rehabilitasi bersama timnya. “Saya membuat keterangan pers tentang kondisi anak di lokasi bencana dan bantuan UNICEF, sekaligus berkampanye agar publik bisa turut berpartisipasi dalam pemulihan bencana,” jelas Lely.

Terkait dengan perannya itu, Lely mengatakan, ia harus menjaga citra dan kredibilitas UNICEF sebagai badan PBB yang menggalang dana dari publik dan selalu menyalurkannya secara bertanggung jawab. “Intinya, saya harus bisa mengomunikasikan mandat UNICEF, yakni membantu pemerintah agar anak-anak Indonesia terjamin tumbuh kembangnya dan terlindungi.”

PUNYA RASA OWNERSHIP
Menurut Fika, penanganan terhadap krisis ini sulit berjalan mulus bila seorang PR tak punya rasa ownership. “Menjaga citra produk bukan pekerjaan sekali jadi. Tugas itu harus dilakukan terus-menerus. Bertemu orang di luar jam kantor pun harus kami lakukan,” jelasnya.

Hal senada disampaikan Teges, bahwa menjadi PR artinya menjaga agar tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Dalam pergaulan maupun saat membuat kebijakan, langkah mereka tak boleh salah. Tugas itu tak hanya diterapkan saat terjadi krisis saja.

Pada praktiknya, tugas PR disesuaikan dengan bidang industrinya. Contoh, tugas PR di industri retail berbeda dari PR dari industri otomotif. Dengan kata lain, PR harus punya pengetahuan luas tentang hal yang berkaitan dengan industrinya. Mereka yang bergerak di industri retail, menurut Teges, harus punya pengetahuan tentang brand, dalam hal ini fashion dan makanan. PR harus memahami produk, kelas, dan konsumennya. Selanjutnya, tugas PR adalah melakukan support terhadap penjualan produk tersebut. “Kalau toko laris, dampaknya adalah pembayaran sewa yang lancar dan para pelaku usaha akan terus memperpanjang sewa,” kata Teges.

Support yang dilakukan Teges dan tim dimulai sejak pihak penyewa menandatangani kontrak sewa. “Kami membantu melakukan promosi. Karena, meskipun produknya dijual di mal lain, konsumen harus tahu brand tersebut ada di mal kami,” papar Teges.

Fika yang bekerja di industri ‘keramah-tamahan’, mengungkapkan, penekanan bidangnya adalah kepribadian hangat dan menyenangkan. “Tamu hotel berharap bisa tinggal nyaman, seperti di rumah sendiri. Tugas kami membangun suasana seperti itu,” katanya.

Fika sendiri mengakui, hal itu tidak selalu mudah. Masalah pribadi sering kali menjadi kendala. Tak jarang baru memarkir mobil di kantor, tamu hotel yang mengenalinya segera menghampiri dan menyampaikan sejumlah keluhan. Yang harus dilakukannya adalah mendengarkan dan segera menawarkan solusi, tentunya tetap dengan wajah full senyum.

Bagaimana jika mood sedang jelek dan sulit senyum? Fika memberikan tip. Jika hati dan pikiran tak bisa bekerja sama, sebaiknya di dalam ruangan saja. “Profesi ini menuntut saya untuk ‘beredar’. Selain untuk menyapa para tamu, saya juga perlu mengecek fasilitas dalam hotel. Kalau ada masalah, harus segera ditangani,” ujar Fika.

Di institusi kemanusiaan internasional, seperti UNICEF, Lely lebih menekankan pada kemampuan berkomunikasi, menjalin jejaring, bernegosiasi, dan kemampuan manajerial.

“Di institusi saya, lebih disukai mereka yang berlatar belakang pendidikan S-2, antara lain, dari bidang komunikasi, jurnalisme, hubungan masyarakat, atau hubungan internasional, dan sudah mengantongi masa kerja antara 5-10 tahun,” jelas Lely, yang berpengalaman sebagai jurnalis, wara-wiri meliput berita di masa reformasi 1998, kemerdekaan Timor Leste, serta kerusuhan di Thailand dan Sri Lanka.

Kemampuan dan dasar keilmuan ini penting untuk tugas merancang strategi komunikasi UNICEF, membangun kemitraan dengan media dan institusi lain, serta merancang program untuk membantu pemerintah meningkatkan partisipasi publik, misalnya, mengadakan lomba menulis untuk anak, mencari remaja berprestasi untuk mempromosikan hak anak, atau mencari duta anak untuk perubahan iklim.

Wiwied menambahkan, PR juga dituntut memiliki kemampuan analisis dan interpersonal yang baik. Hal ini terkait dengan kegiat­an sehari-hari dalam memantau pemberitaan di media.

Sementara, kemampuan interpersonal sangat berguna dalam menangani dan membina hubungan dengan media, baik dari tingkat reporter hingga pemimpin redaksi. Profesi PR, seperti di posisi Wiwied, akan selalu berhubungan dengan jurnalis dari berbagai media. “Masing-masing jurnalis dan media mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Pendekatan ke mereka juga harus berbeda,” tutur Wiwied.

Penulis: Prillia Herawati

Category: My files | Added by: InChut
Views: 960 | Downloads: 0 | Comments: 1 | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Polls
Rate my site
Total of answers: 4
Vidio
Copyright InChut © 2024