Lima Hal Bodoh Memanfaatkan Uang
JIKA
menyangkut masalah finansial, tidak sedikit orang berotak cerdas justru
melakukan hal-hal bodoh dengan uang mereka. Padahal untuk mengambil
keputusan cerdas soal keuangan, Anda hanya perlu bermain dengan logika.
Menurut Brad Klontz, seorang psikolog finansial, ketika berurusan
dengan kecerdasan finansial, ukuran adalah segalanya. Sisi logis dari
otak Anda jauh lebih kecil dibandingkan sisi emosional.
Untuk membuat keputusan cerdas tentang uang, Anda memerlukan sisi logis
yang mendominasi. Namun, begitu Anda tergoda oleh keserakahan atau rasa
takut, maka sisi emosional yang akan mengamuk. Nah, berikut ini adalah
di antaranya:
1. Jatuh cinta dengan investasi
Jatuh cinta dengan saham bisa membuat Anda terjerumus ke jurang dalam.
Menurut Laura Tarbox, perencana keuangan di Newport Beach, California,
tidak sedikit kliennya yang tetap bertahan pada kepemilikan saham
mereka yang terkonsentrasi, karena merupakan warisan dari orang tuanya.
Atau, mereka enggan menjualnya karena bekerja di perusahaan tersebut,
dan merasa tidak loyal jika melepaskannya.
Di dunia investasi, hubungan semacam itu tidak sehat. Tarbox
mengungkapkan, seseorang dianjurkan untuk tidak menaruh lebih dari 10
persen kekayaannya terkunci hanya di satu saham.
2. Mengejar fantasi
Kinerja di masa lalu bukan merupakan indikasi hasil di masa yang akan
datang. Sebuah penelitian ekstensif terhadap data pasar dalam kurun
waktu 19 tahun, menemukan bahwa investor secara konsisten menuangkan
uang mereka ke dalam investasi ''panas'', tepat ketika investasi itu
mulai ''mendingin.''
Menurut Klontz, kerugian para investor tersebut disebabkan oleh
kecenderungan mereka untuk ''berjalan bersama kawanan.'' Jika tidak
ingin terinjak-injak kawanan, Anda harus menyusun strategi investasi
yang sesuai dengan tujuan Anda dan konsisten menjalankannya.
3. Tergoda barang obral
Suatu hari, Anda sedang berjalan-jalan ke toko elektronik dan melihat
dua set televisi berbeda yang dijual seharga Rp 5.000.000,00. Namun,
salah satu televisi itu tadinya memiliki harga normal Rp 6.500.000,00.
Nah, televisi mana yang akan Anda pilih?
Jika Anda berpikir secara logis, seharusnya Anda memilih televisi yang
jelas memiliki review baik. Akan tetapi, menurut Matt Wallaert, seorang
konsultan di LendingTree, kebanyakan orang akan memilih televisi yang
sedang diobral itu.
Meski pun di hari biasa seseorang tidak mau mengeluarkan uang sejumlah
itu untuk satu set televisi, ketika diobral dia merasa harus membelinya
karena berpikir harganya lebih murah. Tak jarang, kita dibodohi oleh
iming-iming diskon yang membuat kita terlalu mudah menghambur-hamburkan
uang, untuk sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar diperlukan.
4. Balas dendam
Anda tidak membutuhkannya. Anda juga tidak menginginkannya. Tapi, tidak
ada seorang pun yang bisa melarang Anda untuk memiliki sesuatu jika
Anda mau.
Psikolog New York, Bonnie Eaker Weil menyebut hal ini dengan istilah
''pissed-off purchases'' (POP). Weil melakukan sebuah survei sebelum
menulis buku terbarunya, 'Financial Infidelity', dan menemukan bahwa
pengeluaran akibat POP diperkirakan mencapai US$424 juta setiap
tahunnya.
Belanja sebagai bentuk pelampiasan dendam seperti itu, menurut Weil,
bisa terjadi ketika Anda merasa marah atau kesal dengan suami, atasan,
ayah, ibu, atau bahkan teman sendiri. Akan tetapi, selega apa pun
perasaan Anda ketika membelanjakan uang sebagai pelampiasan tersebut,
hal itu berdampak buruk terhadap kesehatan finansial Anda.
Selain itu, rasa lega tadi akan dengan cepat berubah menjadi penyesalan
begitu Anda tiba di rumah dan melihat benda-benda tak berguna yang
harganya merobek kantong.
5. Terlalu memanjakan anak
Tidak sedikit orang tua yang masih menanggung kebutuhan hidup anaknya
yang telah dewasa, karena ingin menjadi orang tua yang baik. ''Biasanya
hal itu dimulai dengan niat yang baik. Pada dasarnya mereka ingin
menjadi orang tua yang baik,'' jelas Klontz.
Beberapa orang tua mungkin tidak tega melihat putra-putri mereka
mengalami kesulitan finansial dan membutuhkan bantuan. Namun, akan
menjadi tidak baik jika hal tersebut berubah menjadi ketergantungan
berkelanjutan. Yang lebih buruk lagi, jika mereka terpaksa mengorbankan
simpanan pensiun mereka dan melepaskan impian untuk hidup nyaman karena
harus selalu membayar tagihan anak tersebut.
Dalam menghadapi anak yang telah beranjak dewasa, nasihat Klontz, Anda
harus memiliki gagasan yang jelas tentang sejauh mana bantuan perlu
diberikan, berapa lama, dan apakah bantuan itu bisa membuat anak
kembali berdikari. Jika tidak ada rencana jelas, itu sama saja seperti
terus memberikan mereka ikan, bukannya pancing.
Sumber: Media Indonesia
|